-->

Iklan Tengah Artikel

Iklan Bawah Artikel


Banner iklan disini

MAKALAH HASIL PEMIKIRAN TIMUR

HASIL PEMIKIRAN FILSAFAT TIMUR 

MAKALAH
Makalah ini disusun untuk melengkapi tugas matakuliah
Filsafat sejarah yang dibina oleh bapak Hariono



Oleh:
                                               Elys Tria Widyatama 109831426326
                                               Titi Ningrawati            109831416533
                                               Nizza Nadzillah. D      109831426323
                                              


UNIVERSITAS NEGERI MALANG
FAKULTAS ILMU SOSIAL
JURUSAN SEJARAH




 BAB I
PENDAHULUAN

1.1  Latar Belakang
Filsafat Timur adalah tradisi falsafi yang terutama berkembang di Asia, khususnya di India, Tiongkok, dan daerah-daerah lain yang pernah dipengaruhi budayanya. Sebuah ciri khas filsafat timur ialah dekatnyahubungan filsafat dengan agama. Meskipun hal ini kurang lebih juga bisa dikatakan untuk filsafat barat, terutama di Abad Pertengahan, tetapi di Dunia Barat filsafat ’an sich’ masih lebih menonjol daripada agama. Nama – nama beberapa filosof: Lao Tse, Kong Hu Cu, Zhuang Zi, dan lain-lain.Pemikiran filsafat timur sering dianggap sebagai pemikiran yang tidak rasional, tidak sistematis, dan tidak kritis. 

Hal ini disebabkan pemikiran timur lebih dianggap agama dibanding filsafat. Pemikiran timur tidak menampilkan sistematika seperti dalam filsafat barat. Misalnya dalam pemikiran Cina sistematikanya berdasarkan pada konstrusksi kronologis mulai dari penciptaan alam hingga meninggalnya manusia dijalin secara runut (Takwin, 2001: 12). 

Belakangan ini, beberapa intelektual barat telah beralih ke filsafat timur, misalnya Fritjop Capra, seorang ahli fisika yang mendalami taoisme, untuk membangun kembali bangunan ilmu pengetahuan yang sudah terlanjur dirongrong oleh relativisme dan skeptisisme (Bagir, 2005: 6). Skeptisisme terhadap metafisika dan filsafat rene Descartes dan William Ockham.
Mengingat penting dan beragamnya hasil filsafat dari Timur ini maka kelompok kami memutuskan untuk mengambil judul “HASIL PEMIKIRAN FILSAFAT TIMUR” pada makalah yang akan kami bahas.


1.2  Rumusan Masalah
1.2.1     Bagaimana sejarah filsafat yang berasal dari India?
1.2.2     Bagaimana sejarah filsafat yang berasal dari Cina?
1.2.3     Bagaimana sejarah filsafat yang berasal dari pandangan Islam?

1.3 Tujuan
1.3.1 mengetahui sejarah filsafat yang berasal dari India.
1.3.2 mengetahui sejarah filsafat yang berasal dari Cina.
1.3.3 mengetahui sejarah filsafat dari pandangan Islam.


BAB II
PEMBAHASAN

2.1  Sejarah Filsafat India
Filsafat India mengusung keyakinan akan kesatuan fundamental antara manusia (individu) dengan alam (kosmos). Dengan demikian, tidaklah mustahil jika filsafat India bisa menjadi solusi bagi krisis spiritual dan alam saat ini. Menurut filsafat India, harmoni yang terjalin akan mengantarkan seseorang menjadi waskita (arif bijaksana) terhadap hidup. 

Tidak terasing dari kehidupan dunia (alam semesta) dan mampu beramah-tamah dengan semua benda di sekelilingnya. Bagaikan bersahabat dengan gemericiknya air, kesuburan tanah yang menumbuhkan segalanya, dan sinar matahari yang menghangatkan semesta raya.
A.       Pembagian Lima Periode Dalam Filsafat India
Berikut merupakan babakan perkembangan filsafat India yang terjadi selama lima periode besar itu yakni, zaman Weda, zaman Skeptisisme, zaman Puranis, zaman Muslim, zaman Modern:
1.      Zaman Weda (2000 - 600 SM)
Filsafat India dimulai sejak bangsa Arya masuk ke India dari utara sekitar tahun 1500 SM. Literatur suci mereka disebut Weda, yang terdiri dari Samhita, Brahmana, Aranyaka, dan Upanisad. Samhita memuat Rigweda (kumpulan pujian-pujian), Samaweda (himne-himne liturgis), Yajurweda (rumus-rumus korban), dan Artharwaweda (rumus-rumus magis). Brahmana, Aranyaka, dan Upanisad memuat komentar-komentar pada semua literatur.

 Upanisad merupakan yang terpenting dari filsafat India yang sepanjang sejarah merupakan sumber yang sangat kaya untuk inspirasi dan pembaharuan. Tema yang menonjol untuk Upanisad adalah ajaran tentang hubungan Atman dan Brahman. Atman adalah segi subjektif dari kenyataan, “diri” manusia. Sedangkan Brahman adalah segi objektif, makrokosmos, alam semesta. Upanisad mengajarkan bahwa Atman dan Brahman memang sama dan bahwa manusia mencapai keselamatan (moksa, mukti) kalau ia menyadari identitas Atman dan Brahman.

2.       Zaman Skeptisisme (600 SM – 300 M)

Sekitar tahun 600 SM mulai suatu reaksi baik terhadap ritualisme imam-imam maupun terhadap spekulasi hubungan dengan korban para rahib. Para imam mengajarkan ketaatan pada kitab suci, tetapi para rahib mengajarkan suatu metafisika di mana ketaatan ini mengganggu kebaktian kepada dewa-dewa. Reaksi ini datang dalam berbagai bentuk. 

Tetapi yang terpenting diantaranya adalah Buddhisme ajaran dari Gautama Buddha, yang memberi pedoman praktis untuk mencapai keselamatan dan mengajarkan secara nyata bagaimana manusia dapat mengurangi pemderitaannya dan bagaimana ia mencapai terang budi yang membawa keselamatan. Reaksi lain adalah kebaktian yang lebih eksklusif kepada Siwa dan Wisnu dan juga Jainisme dari Mahawira Jina. Keduanya merupakan bentuk agama yang menarik daripada ritualisme dan spekulasi dari imam dan para rahib. 

Sebagai kontra-reformasi muncullah Hinduisme resmi enam sekolah ortodoks (disebut ortodoks karena Buddhisme dan Jainisme yang tidak berdasarkan Weda dianggap bid’ah).  Sekolah itu adalah Saddharsana (Nyaya, Waisesika, Samkhya, Yoga, Purwa-Mimamsa, dan Ynana). Adalah yang terpenting dari sekolah itu adalah Samkhya (artinya jumlah) dan Yoga (dari kata “juj”, menghubungkan). Yoga mengajarkan suatu jalan (marga) untuk mencapai kesatuan dengan ilahi. Samkhya mengajarkan sebagai tema terpenting hubungan alam-jiwa dan kesadaran-materi.

3.      Zaman Puranis (300 – 1200)
Setelah tahun 300, Buddhisme mulai lenyap dari India. Pemikiran India dalam abad pertengahan dikuasai oleh spekulasi teologis, terutama mengenai inkarnasi dewa-dewa. Contoh cerita tentang inkarnasi dewa-dewa terdapat dalam dua epos besar, Mahabharata dan Ramayana.
4.      Zaman Muslim (1200 – 1757)
Dua nama yang menonjol dalam periode muslim yaitu Kabir (pengarang syair) yang mencoba mengembangkan suatu agama universal dan Guru Nanak (pendiri aliran Sikh) yang mencoba menyerasikan Islam dan Hinduisme.

5.      Zaman Modern (setelah 1757)

Zaman modern adalah zaman pengaruh Inggris di India mulai tahun 1757. Periode ini memperlihatkan kembali nilai-nilai klasik India, bersama dengan pembaharuan sosial. Nama penting dalam periode ini adalah Raja Ram Mohan Roy (1772-1833) yang mengajarkan monoteisme berdasarkan Upanisad dan suatu moral berdasarkan Khotbah di Bukit dari Injil, Vivekananda (1863-1902) yang mengajarkan semua agama benar tetapi agama Hindu paling cocok di India, Gandi (1869-1948), dan Rabindranath Tagore (1861-1941) sang pengarang syair dan penmikir religius yang membuka pintu untuk ide-ide luar. 

Sejumlah pemikir India zaman sekarang melihat banyak kemungkinan untuk dialog antara filsafat Timur dan filsafat Barat. Radhakrishnan (1888-1975) mengusulkan pembongkaran batas-batas ideologis untuk mencapai suatu sinkretisme hindu-kristiani, yang dapat berguna sebagai pola berpikir masa depan seluruh dunia. Pemikir-pemikir lain tidak begitu optimis dengan kemungkinan ini. Menurut mereka, perbedaan antara corak berpikir Timur dan Barat terlalu besar untuk mengadakan suatu interaksi, dalam arti “saling melengkapi”. Filsafat India dapat belajar dari rasionalisme dan positivisme Barat. Filsafat Barat dapat belajar dari intuisi Timur mengenai kesatuan dalam kosmos dan mengenal identitas mikrokosmos. Mungkin, filsafat Barat terlalu duniawi sedangkan filsafat Timur terlalu mistik.

2.2 FILSAFAT CINA
Dalam memahami asal mula Filsafat Cina, ada 3 hal yang perlu diketahui. Pertama, filsafat adalah sebuah usaha sadar untuk memformulasikan pandangan-pandangan dan nilai-nilai sebagai ekspresi dari keyakinan fundamental sekelompok orang. Karenanya filsafat tidak dapat dilepaskan dari latar belakang budaya dan tradisi kelompok  tersebut. Dalam hal ini adalah bahasa, seni, literatur, dan agama. Yang kedua, filsafat sebagai sebuah aktivitas yang berkelanjutan haruslah dipandang sebagai sesuatu yang muncul dari aktivitas praktis kehidupan yang berfokus pada pemecahan masalah tentang pengetahuan yang benar, pemahaman asali, dan penghargaan yang wajar atas berbagai masalah kehidupan, entah secara individu ataupun sosial. Yang ketiga adalah lebih berupa konstruksi-konstruksi teoretis sebagai hasil pemikiran filosofis ataupun kegiatan kultural dari suatu kelompok orang/masyarakat (Fung Yu-Lian,2007:5) .
Filsafat Cina dikenal terbagi menjadi beberapa bagian, bagian-bagian tersebut adalah:
1.   Konfusius
 Ulasan yang lebih detail tentang kehidupaan Confusius adalah biografi yang terangkum dalam bab empat puluh tujuh Shih Chi atau Historical Records (sejarah dinasti Cina pertama, lengkap ca. 86 SM). Dari riwayat hidupnya ini, bisa didiperoleh ide bahwa ajaran-ajaran Konfusius lahir atas keprihatinannya akan situasi sosial dan politik pada saat itu. Bagi Konfusius kekacauan itu timbul karena Li kehilangan jiwanya. Untuk menghidupkan kembali Li berarti menghidupkan kembali ritual dan musik denngan pendasaran pada Ren. Seperti kita ketahui, Konfusiuslah yang mengambil kitab klasik dinasti Zhou keluar dari tempat penyimpanannya dan membeberkannya di depan umum. Konfusius pulalah yang mengubah aneka tata cara dan upacara serta kebiasaan feudal menjadi suatu sistem etika. Konfusius berjuang tanpa kenal lelah sepanjang hidupnya untuk membangun dan memelihara suatu masyarakat yang tertib dan teratur dengan terus menerus menekankan pentingnya hubungan antara manusia atas dasar doktrin ren.
Ren, adalah gagasan sentral dari Konfusianisme yang juga merupakan kelanjutan yang lebih jernih dari gagasan yang hidup sebelum jaman Konfusius. Ren bisa dipahami sebagai: kebaikan hati ataupun kasih antar manusia. Kebaikan ini adalah hakikat terdalam manusia yang membuat unsur lain (dalam hidupnya) menjadi mungkin. Menurut Konfusius ‘ren’ adalah sesuatu di dalam diri yang membuat seseorang sungguh-sungguh manusia. Sedangkan Li  mengandung arti ‘tatacara dan upacara keagamaan’, tetapi Konfusianisme memberi arti lebih luas dari pada sekedar ritus dan ritual, yaitu, segala sesuatu yang terkait pada tindakan tepat manusia, dan Xiao merujuk pada tindakan antar manusia yang menumbuhkan ‘ren’ yang juga berarti “hormat bakti yang muda terhadap yang lebih tua”.
2.   Taoisme.
Taoisme diajarkan oleh Lao Tse (“guru tua”) yang hidup sekitar 550 S.M. Lao Tse melawan Konfusius. Menurut Lao Tse, bukan “jalan manusia” melainkan “jalan alam”-lah yang merupakan Tao. Tao menurut Lao Tse adalah prinsip kenyataan objektif, substansi abadi yang bersifat tunggal, mutlak dan tak-ternamai. Ajaran Lao Tse lebih-lebih metafisika, sedangkan ajaran Konfusius lebih-lebih etika. Puncak metafisika Taoisme adalah kesadaran bahwa kita tidak tahu apa-apa tentang Tao (Abu Ahmad,1975: 157).
3.   Mencius dan Xunzi
            Konfusianisme bermula dari ajaran Konfusius, tetapi kemudian dibangun dan dikembangkan oleh Mencius dan Xunzi. Seperti Konfusius, Mencius mendasarkan ajarannya pada Ren, tapi ia menyatakan bahwa untuk membina Ren harus dikembangkan yi atau kebaikan. “Yang disimpan dalam hati adalah ren, yang dipakai dalam tindakan adalah yi.” Jadi, ren adalah prinsip tepat untuk mengawasi gerak internal, sedangkan yi adalah cara tepat untuk membimbing tindak eksternal.  Lebih lanjut lagi, Ia menekankan Sistem Keluarga yang diungkap Confusius; yaitu sistim masyarakat Tionghoa, ada 5 jenis hubungan yaitu Raja-Menteri, Ayah-Anak, Suami-Istri, Kakak-Adik, teman-teman.
4.   Mohisme
Adapun perbedaan pendapat anatara konfusianis dan mohis adalah sebagai berikut: Para Konfusianis mementingkan relasi yang tepat (Lǐ), tanpa memikirkan keberuntungan. Dari segi moral atau pendirian, para Konfusianis mengutamakan kebenaran dan kemurnian, tanpa menghitung keberhasilannya. Penganut Mo Tzŭ lebih pragmatis. Mereka mengutamakan secara khusus keberuntungan (Lì) dan pencapaian (Kung).
Dengan demikian, tolok ukur kebenaran sebuah prinsip menurut Mo Tzŭ adalah seberapa besar keberuntungan yang diberikan kepada negara dan rakyat jelata. Segala sesuatu harus berguna, dan semua prinsip harus bisa diaplikasikan supaya menyumbang sesuatu nilai secara mandiri. Maka sesuatu prinsip yang tidak bisa diejawantahkan nilainya, ataupun tidak bisa diajarkan secara efektif kepada manusia lain untuk mengejawantahkan nilainya, hanya rasio belaka. Tetapi pendirian Mo Tzŭ ini bertabrakan dengan idealisme Konfusianis, yang mengutamakan pembentukan moralitas yang mendukung tindakan seseorang, supaya bertindak mengikut apa yang benar, dan bukan mengikut apa yang lebih
memanfaatkan.

5.   Daoisme
            Lao Zi dan pengikutnya menduga bahwa ada yang salah dalam hakekat masyarakat dan peradabannya. Mereka menganjurkan rakyat Cina untuk membuang semua pranata dan konvensi yang ada. Mereka percaya bahwa manusia yang dulu mempunyai suatu surga kemudian hilang karena kekeliruannya sendiri, yaitu karna ia mengembangkan peradaban. Menurut Lao Zi dan pengikut pengikutnya, cara terbaik untuk hidup adalah menarik diri dari peradaban dan kembali kepada alam, dari keadaan beradab ke keadaan alami. Inilah jalur pemikiran naturalistic yang dikenal sebagai Daoisme yang menjunjung tinggi Dao dan alam.
            Chuang Tzu memandang Dao sebagai totalitas dari spontanitas segala sesuatu di alam semesta ini. Semua hal harus dibiarkan berkembang sendiri, secara alami dan spontan, Akan tetapi Yang Tzu berpendapat bahwa Dao adalah suatu kekuatan fisis yang buta. Dao menghasilkan dunia tidak atas dasar perencanaan atau kehendak, tetapi atas dasar keniscayaan atau kebetulan. Pendapat ini merupakan pendapat yang mewakili kaum materialistic Daoisme. Apapun perbedaannya, ajaran ajaran mereka menekankan bahwa manusia harus cocok dan serasi dengan kodratnya dan puas dengan apa adanya
6.   Neo Konfusianisme
            Neo-Konfusianisme adalah bentuk Konfusianisme yang terutama dikembangkan selama Dinasti Song, tetapi aliran ini mulai nampak ke permukaan sudah sejak zaman dinasti Tang lewat Han Yu dan Li ao. Mereka membuka cakrawala baru Neo-Konfusianisme, yaitu dimensi kosmologis dalam refleksi mereka. Zhou Dunyi merupakan tokoh yang tak boleh dilupakan. Kosmologi Zhou Dunyi merupakan pengembangan butir-butir ajaran Apendiks dari Kitab Yi Jing dan dia memakai diagram daois untuk ilustrasi dan membentuk ‘Tai Ji Tu dan Tai JI Shuo-nya. Selain Zhou Dunyi masih ada Shao Yong (kosmologis lain yang mengembangkan ajarannya berdasar juga Apendiks dari Kitab Yi Jing. Bedanya dengan Zhuo dia memakai 64 hexagram Yi Jing). Sementara Zhang Zhai (kosmologis lain yang juga mengembangkan ajarannya berdasar juga Apendiks dari Kitab Yi Jing. Namun dia menekankankan dan mengolah lebih jaug gagasan Qi). Mewarisi ‘ke-satu-an’ dari segala dari Zhang Cai, itu yang dikembangkan Cheng Hao menjadi filsafatnya. Ren = rangkuman dari: Yi, Li, Zhi dan Xin, pahami itu dan tempa-tumbuhkan dengan ketulusan dan kecermatan, itulah segalanya. Secara metafisis ada kesatuan antara semua yang ada. Gagasan tersebut kemudian dikembangkan lebih lanjut oleh Lu Jiuyuan dan Wang Yangming yang pada akhirnya membentuk sekolah Lu wang (Fung Yu-Lian,2007:54-56).

2.3 Filsafat Islam
            Islam berasal dari kata salam yang terutama berarti “damai” dan juga berarti “menyerahkan diri”, maka keseluruhan pengertian yang dikandung nama ini adalah “kedamaian sempurna yang terwujud jika hidup seseorang diserahkan kepada Allah”. Kata sifat yang berkenaan dengan ini adalah Muslim (Huston, 2004:254).
Filsafat Islam digolongkan ke dalam filsafat timur karena lebih dominan sifatnya yang menunjukkan idealisme seperti umumnya filsafat-filsafat yang muncul di dunia timur, seperti Cina dan India. Filsafat timur ini yang memiliki aliran idealisme utamanya bercirikan bersifat spiritual, esensinya adalah dengan berfikir. Juhaya (2008:125) mengungkapkan bahwa kata idealis itu dapat mengandung beberapa pengertian, antara lain:
        Seseorang yang menerima ukuran moral yang tinggi, estetika, dan agama serta menghayatinya.
        Orang yang dapat melukiskan dan menganjurkan suatu rencana atau program yang belum ada.
Memang pada filsafat-filsafat yang lahir di dunia timur, kebanyakan lebih mengutamakan sisi spiritual, dalam arti nilai-nilai keagamaan memang kerap mewarnai prinsip-prinsip dalam filsafat timur. Dalam prinsip filsafat timur ini pada perilaku manusia adalah digerakkan oleh nilai dan norma sehingga manusia memiliki tujuan dalam bertingkah laku. Begitu juga filsafat yang lahir dari pemikir-pemikir Islam yang lebih menekankan pandangannya mengenai dunia dengan berlandaskan pada nilai-nilai dan norma-norma yang harus ditaati oleh manusia. Filsafat Islam adalah berfikir secara sistematis, radikal dan universal tentang hekekat segala sesuatu berdasarkan ajaran Islam. Singkatnya filsafat Islam itu adalah Filsafat yang berorientasi kepada Al Qur’an, mencari jawaban mengenai masalah-masalah asasi berdasarkan wahyu Allah.
Pada masa pemerintahan Harun al-Rasyid naik tahta tahun 786 M, buku-buku pengetahuan Yunani banyak diterjemahkan ke dalam bahasa Arab. Orang-orang dikirim ke Romawi di Eropa untuk membeli manuskrip. Pada mulanya penerjemah diutamakan dalam bidang ilmu kedokteran, tetapi kemudian ilmu pengetahuan lain dan filsafat pun diterjemahkan ke dalam bahasa Siriac, bahasa ilmu pengetahuan Mesopotamia waktu itu, kemudian baru dalam bahasa Arab. Tapi akhirnya diadakan penerjemahan langsung dalam bahasa Arab. Melalui kegiatan penerjemahan inilah sebagian besar karya Aristoteles, beberapa karangan Plato serta karangan-karangan mengenai neo-platoisme, Galen dan karangan di bidang kedokteran serta ilmu pengetahuan Yunani lainnya dapat dibaca oleh alim ulama Islam. Karangan di bidang filsafat banyak menarik perhatian Mu’tazilah sehingga mereka banyak dipengaruhi oleh pemujaan daya akal yang terdapat dalam filsafat Yunani. (Juhaya, 2008:194-195). Kemajuan Islam era pertengahan tidak saja mewarisi pengetahuan Yunani-Romawi, akan tetapi telah memodifikasi dan menyempurnakan pengetahuan sebelumnya. Hal ini dibuktikan dengan hasil usaha kreatif cendikiawan muslim seperti al-Kindi, Ibn Sina, al-Farabi, al-Razi dan setelahnya, selain mengadopsi kekayaan pengetahuan mereka, juga melahirkan teori dan pengetahuan orisinil yang sama sekali baru. Peradaban Yunani, Persia dan Romawi jelas menyumbangkan peradaban yang sangat berharga bagi Islam. Peradaban Zoroastrian (Sassanian) telah mencapai puncak renaisan kebudayaannya pada abad ke enam, sebelum Islam datang di tanah Arab. Hal ini yang kemudian menjadi pembawa obor bagi peradaban Barat, bersama-sama membawa sebuah sinkronisme kreatif baru pemikiran ilmiah dan filosofis Yunani, Hebrew, India (Hindu), Syirian, dan Zoroaster.
Mengenai kebangkitan bangsa Arab tersebut dengan agama Islamnya, Huston Smith (2004:254-255) mengutip juga dari Philip Hitti yang menyatakan sekitar nama orang Arab bersinarlah lingkaran cahaya dari kegemilangan yang dimiliki oleh para penakluk dunia. Dalam waktu satu abad setelah bangsa ini muncul, mereka telah menjadi tuan dari suatu daerah kekuasaan yang terbentang dari pantai Samudra Atlantik sampai ke perbatasan Cina, yang merupakan suatu daerah kekuasaan yang lebih besar dari kekaisaran Romawi pada zaman puncak kejayaannya. Dalam masa perluasan wilayah yang luar biasa ini mereka “merangkul berbagai unsure asing ke dalam kepercayaan, bahasa dan bahkan bentuk fisik mereka, lebih daripada yang pernah atau sesudahnya, tidak terkecuali orang Yunani, Romawi, Anglo-Sakson, atau Rusia”. Tentu saja periode yang dimaksud dalam kutipan tersebut adalah saat pemerintahan Harun al-Rasyid.
Filsafat Islam memiliki karakteristik sekaligus sebagai keunikan tersendiri. Setidaknya, terdapat tiga karakteristik yang dapat kita diketemukan dalam khazanah ini, yaitu peripatetisme (Masysya’iyyah), iluminasi (Israqiyyah) dan teosofi transenden (al-hikmah al-muta’aliyah). Ketiga karakteristik tersebut sudah sering dikaji oleh para sarjana muslim.
Filsafat peripatetisme adalah paham kelanjutan dari pengaruh ide-ide Aristotelian yang bersifat diskursif-demontrasional. Corak dari Aristotelian yaitu hylomorfisme, suatu paham yang cenderung bersifat material. Peripatetisme dimulai sejak al-Kindi, yang melewati antara lain, al-Farabi, Ibn Sina, Ibn Thufail dan Ibn Bajjah hingga Ibn Rusyd. Mungkin, hanya Ibn Rusyd saja yang agak berani membersihkan Aristotelianisme dari Neo-Platonisme. Filsafat iluminasi (Israqiyyah) berbicara mengenai suatu kilatan-mendadak dalam bentuk pemahaman atau ilham sebagai suatu arus cahaya. Asal mulanya, teori ini berakar dari pola-pola Platonik, yang selama periode Hellenistik dan Romawi aliran ini diserap dan tergabungkan dalam pikiran Kristiani dan Yahudi. Tokoh yang ternama dalam corak filsafat iluminasi yaitu Surawardi. Sebagai pencetus paham iluminasi, dia telah membuka jalan suatu dialog dengan wacana-wacana dan upaya-upaya religius atau mistis dalam dunia ilmiah. Dia juga termasuk filosof yang meyakini adanya perennial wisdom. Sebuah jalan kebenaran yang dijadikan ukuran adalah pengalaman “intuitif” yang kemudian mengelaborasi dan memverifikasinya secara logis-rasional. Sementara filsafat hikmah di perkenalkan oleh Mulla Shadra. Dia membangun aliran baru filsafat dengan semangat untuk mempertemukan berbagai aliran pemikiran yang berkembang di kalangan kaum muslim. Yakni tradisi Aristotelian cum Neo platonis yang diwakili figur-figur al-Farabi dan Ibn Sina, filsafat Israqiyyah, pemikiran Irfani Ibn ‘Arabi, serta tradisi kalam (teologi dialektis). Filsafat hikmah cenderung berbicara masalah esensi (wujud), sehingga sering disebut-sebut sebagai eksistensialisme Islam. Aliran ini mempercayai bahwa pengetahuan diperoleh tidak melalui penalaran rasional, tetapi hanya melalui sejenis intuisi, yakni penyaksian bathin (syuhud, inner witnessing), cita rasa (dzauq, tasting), pencerahan (hudhur, presence) (Haidar Bagir dalam Mujtahid, 2011:uin-malang.ac.id). Begitulah perkembangan filsafat Islam yang telah mendapat pengaruh dari beberapa filosof Romawi dan Yunani yang kemudian diserap menjadi beberapa pandangan baru dari kacamata Islam. Hanya saja sedikit pengaruh-pengaruh baik dari Aristoteles, Plato maupun Sokrates terakulturasi dalam filsafat ini.

Dalam pembahasan ini akan diulas mengenai pemikiran dua tokoh filosofi Islam yakni Al-Kindi dan Al-Ghazali sebagai contoh gambaran konkrit dari filsafat Islam.
        Al-Kindi (196-873 M)

Nama lengkap filsuf ini adalah Ya’kub bin Ishaq bin al-Kindi yang lahir di Kufah dan bertempat tinggal di Kindah, Yaman. Orangtuanya adalah Gubernur Basrah. Menurut keterangan Ibnu al-Nadim buku-buku yang ditulisnya itu berkisar 241 buah dalam bidang filsafat, logika, ilmu hitung, astronomi, kedokteran, ilmu jiwa, politik, optik, musik, matematika, dan sebagainya. Dalam The Legacy of Islam dapat kita jumpai informasi yang menjelaskan bahwa buku Al-Kindi tentang optika diterjemahkan ke dalam bahasa latin dan banyak mempengaruhi Roger Bacon.
Pengetahuan menurut al-Kindi terbagi menjadi dua, yakni Pertama pengetahuan Illahi atau ilm ila’hiy (devine science) seperti yang tercantum dalam al-Qur’an, yaitu pengetahuan langsung yang diperoleh Nabi dari Tuhan. Dasar pengetahuan itu adalah keyakinan. Kedua, pengetahuan manusiawi atau ilm insaniyy (human science) atau filsafat yang didasarkan atas pemikiran (ration reason). Filsafat baginya adalah pengetahuan tentang yang benar atau baths an al-haqq (knowledge of the truth). Dari sinilah kita bisa melihat persamaan antara filsafat dan agama. Tujuan agama dan tujuan filsafat adalah sama, yaitu menerangkan apa yang benar dan apa yang baik. Agama, disamping wahyu, juga menggunakan akal. Adapun kebenaran pertama, menurut al-Kindi, ialah Tuhan (Allah). Dialah al-haqq al-awwal, the first Truth. Dengan demikian filsafat membahas soal Tuhan, agama pun yang menjadi dasarnya Tuhan. Oleh karena itu, bagi al-Kindi, filsafat yang paling tinggi adalah filsafat tentang Tuhan.

Al-Kindi memandang jiwa sebagai intisari dari manusia. Para filsuf Islam banyak memperbincangkan hal ini, karena Al-Qur’an atau Hadist Nabi tidak menjelaskan hakikat jiwa atau ruh. Jiwa menurut al-Kindi, seperti halnya menurut al-Ghazali dan Ibn Taimiyyah, mempunyai tiga macam daya, yaitu daya bernafsu, daya pemarah, dan daya berpikir/berakal. Namun demikian, pendapat al-Kindi berbeda dengan keduanya ketika ia mengatakan ada tiga macam akal, yaitu: (a) Akal yang bersifat potensial, (b) Akal yang telah keluar dari sifat potensial menjadi actual, dan (c) Akal yang telah mencapai tingkat kedua dari aktualitas (Juhaya, 2008: 1986-201).
        Al-Ghazali (1059-1111 M)
Abu Hamid Muhammad al-Ghazali lahir di tahun 1059 M, di Ghazaleh, suatu kota kecil yang terletak di dekat Tus, Khurasan, kawasan Iran dewasa ini. Al-Ghazali dalam sejarah filsafat Islam dikenal pada mulanya sebagai syak (skeptis) terhadap gejala-gejalanya. Perasaan syak ini kelihatannya timbul dalam dirinya dari pelajaran ilmu kalam atau teologi yang diperoleh dari al-Juwaini. Pada mulanya pengetahuan seperti dalam ilmu pasti itu dijumpai al-Ghazali dalam hal-hal yang ditangkap dengan panca indera, tetapi baginya kemudian ternyata bahwa panca indera juga berdusta. 

Sebagai upama, ia sebut bayangan (rumah) kelihatannya tak bergerak, tetapi akhirnya ternyata berpindah tempat. Bintang-bintang di langit kelihatannya kecil, tetapi perhitungan enyatakan bahwa bintang-bintang iu lebih besar dari bumi. Karena al-Ghazali tidak percaya pada apanca indera lagi,ia kemudian meletakkan kepercayaannya pada akal. Tetapi akal juga ternyata tak dapat dipercayai. “Sewaktu bermimpi”, demikian kata al-Ghazali,”orang melihat hal-hal yang kebenarannya diyakni betul-betul, tetapi setelah bangun, ia sadar bahwa apa yang ia lihat benar itu sebetulnya tidaklah benar.” Tidaklah mungkin apa yang sekarang dirasa benar menurut pendapat akal, nanti kalau kesadaran yang lebih dalam timbul akan ternyata tidak benar pula, sebagaimana halnya dengan orang yang telah bangun dan sadar dari tidurnya.

Al-Ghazali mempelajari filsafat, kelihatannya untuk menyelidiki apakaha pendapat-pendapat yang diajukan filsuf-filsuf itulah yang merupakan kebenaran. Baginya ternyata bahwa argument-argumen yang mereka ajukan tidak kuat dan menurut keyakinannnya ada yang ada yang bertentangan dengan ajaran-ajaran Islam.

Tasawuflah yang dapat menghilangan rasa syak (keragu-raguan) yang lama mengganggu dirinya. Dalam tasawuflah ia memperoleh keyakinan yang dicari-crinya. Pengetahuan mistiklah, cahaya yang diturunkan Tuhan ke dalam dirinya, itulah yang membuat al-Ghazali memperoleh keyakinannya kembali (Juhaya, 2008:202-204) Dengan demikian satu-satunya pengetahuan yang menimbulkan keyakianan akan kebenarannya bagi al-Ghazali adalah pengetahuan yang diperoleh secara langsung dari Tuhan dengan tasawuf.


BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Filsafat India mengusung keyakinan akan kesatuan fundamental antara manusia (individu) dengan alam (kosmos). Dengan demikian, tidaklah mustahil jika filsafat India bisa menjadi solusi bagi krisis spiritual dan alam saat ini. Menurut filsafat India, harmoni yang terjalin akan mengantarkan seseorang menjadi waskita (arif bijaksana) terhadap hidup. Tidak terasing dari kehidupan dunia (alam semesta) dan mampu beramah-tamah dengan semua benda di sekelilingnya. Bagaikan bersahabat dengan gemericiknya air, kesuburan tanah yang menumbuhkan segalanya, dan sinar matahari yang menghangatkan semesta raya.


Dalam memahami asal mula Filsafat Cina, ada 3 hal yang perlu diketahui. Pertama, filsafat adalah sebuah usaha sadar untuk memformulasikan pandangan-pandangan dan nilai-nilai sebagai ekspresi dari keyakinan fundamental sekelompok orang. Karenanya filsafat tidak dapat dilepaskan dari latar belakang budaya dan tradisi kelompok  tersebut. Dalam hal ini adalah bahasa, seni, literatur, dan agama. Yang kedua, filsafat sebagai sebuah aktivitas yang berkelanjutan haruslah dipandang sebagai sesuatu yang muncul dari aktivitas praktis kehidupan yang berfokus pada pemecahan masalah tentang pengetahuan yang benar, pemahaman asali, dan penghargaan yang wajar atas berbagai masalah kehidupan, entah secara individu ataupun sosial. Yang ketiga adalah lebih berupa konstruksi-konstruksi teoretis sebagai hasil pemikiran filosofis ataupun kegiatan kultural dari suatu kelompok orang/masyarakat (Fung Yu-Lian,2007:5) .


Islam berasal dari kata salam yang terutama berarti “damai” dan juga berarti “menyerahkan diri”, maka keseluruhan pengertian yang dikandung nama ini adalah “kedamaian sempurna yang terwujud jika hidup seseorang diserahkan kepada Allah”. Kata sifat yang berkenaan dengan ini adalah Muslim (Huston, 2004:254). Filsafat Islam digolongkan ke dalam filsafat timur karena lebih dominan sifatnya yang menunjukkan idealisme seperti umumnya filsafat-filsafat yang muncul di dunia timur, seperti Cina dan India. Filsafat timur ini yang memiliki aliran idealisme utamanya bercirikan bersifat spiritual, esensinya adalah dengan berfikir.

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel